Jumat, 20 Februari 2009

My Short Story - Suci

Suci


Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Udara yang dingin akibat derasnya hujan yang mengguyur kota Jakarta, membuat orang-orang ingin segera mengakhiri segala aktivitasnya. Malam ini, hamper semua orang tertidur lelap dan bermimpi indah. Tapi, tidak dengan Suci, seorang gadis cantik berumur 18 tahun yang tinggal di kawasan perumahan elit.


Di ruang keluarga di rumahnya, Suci sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Ya, mereka hanya tinggal berdua di rumah mewah itu. Ayahnya sudah lama tiada, dan Suci merupakan anak tunggal. Awalnya, mereka masih mengobrol sambil bercanda. Namun, lama kelamaan suasana memanas ketika sang ibu mengungkapkan keinginannya untuk membawa Suci ke Rumah Sakit Jiwa besok.


“Maksud mama apa? Kenapa aku mau dibawa ke Rumah Sakit Jiwa? Memangnya siapa yang akan kita jenguk?”, tanya Suci keheranan.


“Ehm… kita tidak menjenguk siapa-siapa, sayang… Mama.. mama cuma mau memeriksa kesehatan psikologismu di sana.”, terang ibunya.


“Mama pikir aku ini gila? Lagipula kalau hanya itu, kita kan bisa memanggil psikiater ke sini.”


“Tapi ini rekomendasi dari kantor polisi, sayang…”


“Polisi?! Ngapain mama masih nurutin kata-kata polisi-polisi aneh itu! Seharusnya mereka yang perlu diperiksa psikologisnya! Mereka menangkap orang-orang yang tidak bersalah seperti aku!”


“Tapi menurut mama rekomendasi dari mereka bagus. Lagipula pemeriksaan ini kan ngga ada ruginya buat kamu.”


Emosi Suci pun memuncak.


“Kalau mama tetap memaksa aku, berarti mama menganggap aku gila!”


“Bukan begitu, sayang… Justru mama melakukan ini semua demi kamu.”


“Bohong! Pasti mama pikir aku gila! Aku ngga gila, ma! Aku ngga gila! Mama sudah ngga sayang aku lagi! Mama sama saja dengan papa!”


“Apa yang kamu katakan itu ngga benar! Mama sangat sayang sama kamu! Begitu pula almarhum papamu…”


“Bohong! Mama sama saja dengan papa! Ngga ada yang sayang sama aku! Kalau papa sayang sama aku, papa ngga mungkin tega melakukan hal itu! Ayah macam apa dia yang tega merenggut kehormatan anaknya sendiri! Aku malu! Aku sakit hati! Dan aku ngga pernah menyesal sudah membunuhnya!”


Suci tidak dapat membendung air matanya lagi. Ibunya memeluknya dan menenangkannya. Teringat kembali masa-masa kelam itu. Peristiwa kelabu yang tak akan pernah terhapus dari ingatan mereka. Peristiwa yang membuat Suci malu karena keadaannya yang sudah tak sama lagi dengan namanya.


Peristiwa itu terjadi ketika Suci masih berumur 16 tahun dan duduk di bangku SMA. Tepatnya 3 hari setelah hari ulang tahun Suci.


Malam itu, Suci sedang merapikan tempat tidurnya ketika tiba-tiba ayahnya masuk ke kamarnya tanpa permisi. Saat itu ibunya sudah tidur. Setelah mengobrol sebentar, Suci mulai mencium gelagat aneh ayahnya, dan Suci mulai histeris ketika ayahnya mencoba melakukan perbuatan yang tidak senonoh padanya. Tentu saja Suci berontak, namun usahanya sia-sia. Ayah kandungnya itu sudah membuat Suci tidak perawan lagi!


Lalu, selagi ada kesempatan, Suci berhasil meloloskan diri. Ia berlari sambil memanggil-ibunya. Ayahnya masih mengejarnya seperti tak kenal rasa puas.


Ibunya lari tergopoh-gopoh mencarinya, dan ketika sampai di ruang keluarga, Ia melihat suatu hal tragis.. Ia melihat suaminya tergolek tak berdaya di lantai. Kepalanya penuh darah dan ada serpihan beling di sekitarnya. Terdapat luka tusukan juga di dadanya. Ibunya tahu siapa yang melakukannya. Ia juga tahu dari mana serpihan beling itu berasal. Ia melihat Suci menangis. Tangan kanannya memegang guci yang sudah pecah.


Malam itu juga, Suci menyerahkan diri ke kantor polisi seraya melayangkan tuduhan dan pembelaannya. Ia juga menjalani sidang dua kali. Dalam sidangnya, tak tampak raut menyesal di wajahnya. Ia malah tertawa dan merasa puas telah membunuh ayahnya, dan tiba-tiba menangis ketika Ia ingat perlakuan kotor ayahnya itu.


Dua tahun lamanya Suci mendekam di penjara. Namun Ia masih belum menyesali perbuatannya. Ia berpikir bahwa mati adalah ganjaran terbaik untuk pria macam ayahnya. Saat ibunya menjenguknya, Ia hanya diam saja. Ia lebih suka duduk dengan posisi lutut menopang dagu, sambil menghisap ibu jarinya. Ia tak mau berkomunikasi dengan orang lain selain ibunya. Ia suka bersenandung kecil untuk menghibur diri. Namun terkadang Ia juga suka ngedumel sendiri, bicara sendiri, bahkan tertawa sendiri.


Kebiasaan buruk ini masih sering berlangsung saat Suci sudah dibebaskan. Hal inilah yang membuat ibunya cemas. Ibunya pun berkonsultasi dengan kepala kantor polisi tempat Suci dipenjara. Satu-satunya jalan terbaik adalah memeriksa kondisi kesehatan psikologis Suci ke Rumah Sakit Jiwa.


Setelah dirayu dengan pendekatan oleh ibunya yang sudah menenangkannya saat mereka berselisih, akhirnya Suci setuju dengan permintaan ibunya.


Esoknya, mereka pergi ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana, mereka dikenalkan dengan seorang dokter muda bernama dr.Finan. Lalu, Suci pun mulai menjalani pemeriksaan. Hasilnya sudah dapat keluar sore itu juga.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. dr.Finan memberikan hasil pemeriksaan psikologis Suci.


“Bagaimana dok? Saya ngga gila kan? Saya ngga perlu dirawat di sini kan?”, tanya Suci tidak sabar.

dr.Finan tertawa kecil dan menjawab pertanyaan Suci, “Iya, kamu benar. Tapi….”


“Tapi apa, dok?”


“Suci, kamu mengalami sedikit gangguan mental dan harus menjalani rehabilitasi di sini. Kamu tidak perlu menginap di sini, karena rehabilitasinya hanya dilaksanakan tiga kali seminggu. Harinya bisa kamu tentukan sendiri. Lamanya tergantung perkembangan psikologismu sendiri. Mungkin akan makan waktu berbulan-bulan.”


Meskipun Suci harus menjalani rehabilitasi selama berbulan-bulan, namun cukup mengetahui bahwa Suci tidak gila saja sudah membuat Suci dan ibunya lega. Mereka berterima kasih kepada pihak Rumah Sakit Jiwa, khususnya dr.Finan. Mereka juga diberitahu bahwa dokter rehabilitasi Suci adalah dr.Finan.


Ternyata perkembangan kesehatan psikologis Suci cukup baik. Dalam beberapa bulan, kebiasaan buruknya sudah hilang. Melalui pengajaran di rehabilitasi itu pun, Ia mulai menyesali perbuatannya terhadap ayahnya. Ia pun berterima kasih pada dr.Finan yang selalu menjadi teman curhatnya. Ia selalu berkeluh kesah pada dokter muda itu. Ia juga menceritakan pengalaman-pengalaman gembiranya, menceritakan impian dan cita-citanya, dan meminta pendapatnya jika ada masalah. Begitu pula dengan dr.Finan yang selalu memberikan nasihat, pengarahan, dan memotivasi Suci untuk sembuh dari gangguan mentalnya dan luka-luka hatinya.


Tak terasa sudah lebih dari 6 bulan Suci menjalani rehabilitasi. dr.Finan memberitahu Suci bahwa Ia sudah sembuh dan tidak usah kembali lagi. Tentu saja Suci senang mendengarnya, namun hati kecilnya mengatakan bahwa Ia masih ingin kembali. Raut wajahnya menyiratkan perasaan sedih.


“Apa-apaan raut wajahmu itu? Kamu ngga senang kalau kamu sudah sembuh?”, tanya dr.Finan sedikit bercanda.


“Dokter, kita sudah sering melewati hari-hari bersama selama setengah tahun lebih. Aku sudah merasa cukup dekat denganmu. Entah mengapa hatiku sedih ketika kau bilang aku tak perlu kembali ke sini. Aku ingin bisa selalu bertemu denganmu.”, kata Suci malu-malu.


“Yaa… aku paham perasaanmu. Semua pasienku juga bilang begitu padaku ketika akan berpisah. Hahaha….”, kata dr.Finan sambil tertawa.


Suci agak kesal dan berkata, “Dokter ini kenapa ngga peka sama sekali sih?!”


“Lho, kamu kenapa jadi marah? Peka apaan maksudnya?”


Belum sempat Suci menjawab, ibunya sudah datang menjemputnya. “Saatnya berpisah”, pikir Suci dalam hati. Ia dan ibunya bersalam-salaman dan mengucapkan salam perpisahan kepada seluruh pengurus, dokter, dan teman-teman serehabilitasinya di RSJ itu.


dr.Finan dan beberapa dokter lain mengantarkan mereka sampai ke gerbang. Sebelum masuk mobil pribadinya, Suci memberikan sepucuk surat kepada dr.Finan.


Setelah membaca surat itu, dr.Finan sedikit kaget. Ia membacanya sekali lagi.


Untuk dokterku yang aku hormati dan aku sayangi, dr.Finan.

Terima kasih sudah membimbingku selama ini, memberikan pengarahan, nasihat, dan selalu menjadi teman curhatku yang paling baik.

Wahai pencerah hatiku, berkat dirimu, sekarang aku sudah menyesali perbuatanku, dan aku sedang berusaha untuk memaafkan ayah.

Dokter, aku sedih harus berpisah denganmu. Aku ingin selalu berada di dekatmu. Aku merasa nyaman berada di sampingmu. Hatiku sejuk setiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulutmu. Hatiku berdegup kencang saat kau tersenyum padaku. Tahukah dokter apa arti semua ini?

Wahai perajut asaku, tahukah kau apa impianku? Ya, dulu aku pernah cerita kalau aku ingin menjadi pengusaha sukses, meneruskan perusahaan almarhum ayahku. Tapi ada satu impian lain yang tak berani kuceritakan padamu. Impian itu adalah…aku ingin nantinya menikah dengan seorang dokter yang selama ini sudah merawat dan membantuku. Tapi aku tahu itu tak mungkin.

Namun, aku berjanji padamu. Aku akan selalu berjuang. Aku tak akan takut menghadapi cobaan lagi, karena cobaan terberat sudah menimpaku. Aku akan berjuang untuk tegar.

Salam sayang,

Suci


dr.Finan tersenyum. Ia menundukkan kepala. Air mata mengalir hangat di pipinya. Lalu Ia berkata, “Suci, aku tak tahu mengapa aku menangis setelah membaca suratmu. Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Tapi aku senang telah dipertemukan denganmu. Kuharap kita dapat berjumpa lagi.”

Tidak ada komentar: