Jumat, 20 Februari 2009

hehehehe

gw udah lama banget bikin akun di sini,, kayaknya sih udah 1tahun,, tapi baru gw isi sekarang..
hohohoho...
how stupid!!!

PRASPA - 17 Desember 2008


ALHAMDULILLAH...
Kakakku akhirnya berhasil mengejar cita-citanya untuk menjadi seroang perwira polisi (Police Officer).
Tanggal 17 Desember 2008 (tepat seminggu setelah ulang tahunku) adalah hari yang bersejarah untuknya. Mmmm... untuk keluarganya juga,, hehe..
Tempat: Akademi Militer (Military Academy), Magelang, Jawa Tengah.

Mudah-mudahan bisa menjadi pemimpin negeri kita tercinta ini,, AAMIIN..!!

Haduh maaf belum bisa cerita banyak,, sibuk banget nih..

My Poem

Singkat


Puisi ini, singkat saja
Satu..

Dua..

Tiga..

Sesingkat perjumpaan kita

Yang membuat hatiku sepi sekali lagi

Tapi aku ingin

Perpisahan kita singkat juga



Short


This poem, just short

One..

Two..

Three..

As short as our meeting

That makes my heart feel so lonely again

But I hope

Our parting also short






Jalanku


Tatkala surya menepis sinar rembulan
Aku terbangun dari mimpiku

Bagai anak ayam kehilangan induknya

Ku tak tahu harus kemana kulepas langkahku



Lalu kususuri jalan itu
Jalan yang gelap tetapi penuh warna

Kupijakkan kakiku pada jalan itu

Kuberjalan tanpa arah dan tumpuan



Jalan ini adalah jalanku
Jalan yang penuh dengan asa dan nestapa

Jalan yang kuarungi dengan langkah kecilku

Langkah kecilku yang ternyata terlalu angkuh

untuk mendahului tiap detik dan menit yang terlewati


Nyanyian alam mulai terdengar
Desiran angina pun ikut berirama

Rumput dan bunga menari-nari

Kuhitung batu kerikil yang kupijak

Yang tak pernah ada habisnya



Jalanku seperti kanvas
Aku bebas mewarnainya

Dengan warna-warna pelangiku

Merah, biru, hijau, putih

Bahkan hitam dan abu-abu

Kupadukan semua warna itu

Menjadi dimensi yang menakjubkan




My Road


When the sun wards off the moonlight

I am awaken from my dream

Like a chick that lose its mother

I don’t know where I must remove my step


Then I walk along that road (street)

A dark road but full of colors

I step my foot on that road

I walk without direction and pillar


This road is my road

A road that full of hope and grief (sorrow)

A road that I wade across with my small step

My small step which turned out to conceitedly

to precede every second and minute


Nature’s melody (song) has begun hearing

The wind’s swishing also has rhythm

Grass and flowers dance

I count the gravels which I stepped

That never ended


My road is like a canvas

I freely color it

With my rainbow’s colors

Red, blue, green, white

Even black and grey

I combine all that colors

Into an amazing dimension





Aku adalah aku

Aku adalah aku
Kamu adalah kamu
Dia adalah dia
Mereka adalah mereka

Aku adalah aku
Aku bukan kamu
Dan kamu bukan aku

Aku adalah aku
Aku bukan dia
Dan dia bukan aku

Aku adalah aku
Aku bukan mereka
Dan mereka bukan aku

Aku bukan kamu, dia, ataupun mereka
Kamu bukan aku, dia, ataupun mereka
Dia bukan jua aku, kamu, ataupun mereka
Dan bahkan mereka bukan aku, kamu, ataupun dia

Sekalipun kamu adalah aku,
dia adalah aku,
dan mereka adalah aku,
Aku tetap adalah aku

Meski kamu adalah dia atau mereka,
dia adalah kamu atau mereka,
dan mereka adalah kamu atau dia,
Aku tetap bukanlah kalian semua
Karena aku adalah aku





Cerminku


Raut wajah yang membisu
Tangan dan kaki yang terkulai tak berdaya

Cermin ragaku saat angin berbisik

Kau t’lah pergi


Api cinta yang selalu berkobar di dada

Padam dan dingin, beku lalu remuk

Cermin hatiku saat angin berbisik

Kau t’lah tiada


Tuhan, mengapa Kau mengambilnya?

Inikah jalan terbaik untuknya?

Berikan jawab-Mu dalam doaku

Beri ia tempat di hati-Mu

Sebagaimana ia menempatkan-Mu dan diriku dalam hatinya

Cermin batinku saat angin berbisik

Kau tak’kan kembali


Cukupkah cermin-cermin itu

Menjelaskan kepadamu

Cermin itu adalah aku

Yang merindukan masa-masa saat kita bersama

Dalam dunia yang fana ini


Sekarang,

Raga dan dunia kita berpisah

Tapi hati kita akan terus bersama

Cermin hubungan kita

Tanpa bisikan angin lagi




My Mirror/Reflection


The mute profile (dumb/silent face)

The powerless drooping hand and foot

My body’s reflection when the wind whispers

You have gone


The love that always flames in the chest

Extinguished and cold, frozened then chrused

My heart’s reflection when the wind whispers

You have passed away


God, why did You take him?

Is this the best way for him?

Please give me Your answer in my pray

Give him place in Your heart

In the same manner as he placed me and You in his heart

My spiritual mind’s reflection when the wind whispers

You will not come back


Are those mirrors enough

Tell you

That mirror is me

Who miss the time when we were together

In this transitory world


Now,

Our body and world has separated

But our heart would be always together

Our relationship’s reflection

Without the wind whisper anymore





Andai Ku Mampu

Andai ku mampu tuk menggapaimu

Aku rela menjadi berang-berangmu

Yang selalu siap membendung segala kesedihanmu

Walau harus kubendung dengan tulang-tulangku


Andai ku mampu tuk menggapaimu

Aku rela menjadi payung dan tamengmu

Yang kan selalu melindungi dan menjagamu

Meski harus kupertaruhkan nyawaku


Andai ku mampu tuk menggapaimu

Aku rela menjadi tanah tempat kau berpijak

Meski berbatu ataupun berumput

Ku ‘kan selalu hargai tiap langkahmu


Andai ku mampu tuk menggapaimu

Aku rela menjadi diarymu

Tempatmu menumpahkan segala perasaanmu

Maka ku dapat mengerti dirimu sepenuhnya




If I Were Able


If I were able to reach you

I willingly would like to be your otter

Which always ready to dam up all your sadness

Even though I must dam with my bones


If I were able to reach you

I willingly would like to be your umbrella and shield

Which will always be ready to guard and protect you

Even though I must risk my life


If I were able to reach you

I willingly would like to be the land (place) you are at

Although stony and gravely

I will always respects every your step


If I were able to reach you

I willingly would like to be your diary

The place you could pour all your feeling

So I could fully understand you





Rasa Ini

Meski hanya setetes

Ingin kurasakan aliran kasih sayangmu

Yang kan mengalir di samudera hatiku

Menghanyutkan segala emosiku


Akankah kau berikan padaku?

Cintamu yang tulus

Meski hanya sepercik saying

Yang mengembun di daun-daun hatiku


Namun yang kau berikan padaku

Adalah gerimis tiada henti

Yang tanpa kusadari t’lah membasahi pipiku

Aku yang terlalu menginginkanmu


Rasa ini bagai asap yang terbang

Namun tak pernah mencapai angkasa

Rasa ini bagai cahaya

Yang tak pernah menerangi duniamu


Sekali saja,

Izinkan aku,

Menyentuh cintamu dengan sukmaku

Namun jangan jadikanku bonekamu




This Feeling


Although just a drop

I wanna feel your love and affection’s flow

Which will flow in my heart’s ocean

Sweep away all my emotions


Will you give it to me?

Your sincere love

Although just a splatter of affection

Which turns into dew in my heart’s leaves


But the thing that you gave to me

Was unstopping drizzling

That was unconsciously it wet my cheek

I want you so much


This feeling is like flying smoke

But never reaches the sky

This feeling is like the light

Which never lights your world


Please, just once,

Permit (allow) me,

To touch your love with my soul

But don’t make me become your doll (puppet)






Kumbang


Tak semua kumbang jujur

Tak semua kumbang berhati mulia

Saat itu juga,

Kutatap awan dan air yang sedang bergejolak

Mereka mati, tapi mereka jujur






Kau


Kau,

Bagai kumbang yang tak pernah datang ke tamanku

Kau,

Bagai mimpi paling indah yang pernah aku impikan

Kau,

Bagai embun pagi yang selalu menyejukkan hari-hariku

Kau,

Bagai alunan merdu yang masuk melalui telingaku dan merajang otakku

Kau,

Bagai kristal yang paling menyilaukan kedua mataku

Dan kaulah,

Yang telah membukakan mata hatiku yang buta


Bagiku,

Tak kurang suatu apapun darimu

Bagiku,

Kaulah kumbang yang paling sempurna di antara semua kumbang

Dan kaulah,

Yang merajut asaku dan menepis segala keraguanku

Kaulah harapanku, dan kaulah yang kuharapkan


Namun sayang,

Rasanya mustahil bagiku untuk mendapatkanmu

Karena sekarang kau t’lah pergi

Aku tahu,

Kau pergi untuk mengejar cita-citamu

Dan kau,

Bersemangatlah!

Mungkin ini,

Akan menjadi kata terakhirku







Sampai Kapan Hampa?


Hampa…

Kosong…

Tiada berisi

Tiada warna

Kar’na tak ada cahaya lagi


Dulu ketika kuambil seutas benang

Dan kucelupkan di tinta pelangi

Bahagia rasanya

Tinta itu mewarnai benangku

Dengan warna-warna pelanginya


Aku senang

Aku bahagia

Tinta itu merupakan cahaya bagiku

Dan benang itu pun berwarna

Layaknya batin dan hatiku


Tapi kini

Warna pada benang itu kian pudar

Kucari tinta pelangi tadi

Ada!

Tapi… sudah kering…


Benangku sekarang kusam

Tak ada cahaya yang membiaskan warnanya lagi

Layaknya batin dan hatiku

Batinku yang sakit

Dan belum ada yang mampu mengobati


Ingin kuhempas saja

Kenangan antara tinta dan benang

Ingin kubuang saja

Benang kusamku itu

Namun aku tak bisa…


Batinku melarangku melakukannya!

Biarlah kusimpan benang itu ‘tuk kenangan

Kenangan yang terindah

Meski membuatku perih

Dan terasa hampa


Ya, hampa!

Kosong!

Nol!

Tiada berisi

Dan tanpa warna


Kelak nanti

Kan kutemukan tinta baru

Yang lebih berwarna dari pelangi

Untuk mewarnai benangku lagi


Tapi kapan?

Sampai kapan kan hampa?

Sampai kapan ku harus menunggu?

Datangnya tinta itu?


Karna bila datang waktunya

Tak ‘kan hampa lagi

Tak ‘kan sepi lagi

Berwarna kembali

Dengan cahaya kami






Jiwaku T’lah Kosong


Lukisan senja di hati

Ternoda oleh darah lukaku

Luka yang tak terpera

Timbulkan perih tak bernyawa


Nuansa sepi di dasar hati

Tenggelam sukma berbagi rasa

Gugurnya anganku yang layu

Hempaskan segenggam kenangan

Relung jiwaku t’lah kosong


Hhh…

Tak perlu lagi tuk ditangisi

Bahkan untuk ditertawai

Takkan berguna itu semua

Karna jiwaku t’lah kosong






Tenggelam


Tenggelam, ku tenggelam

Dalam duka sisakan derita

Bintang pun sebenarnya tak suka

Bila bulan tenggelam sisakan siang


Tenggelam, ku tenggelam

Dalam haru sisakan air mata

Bintang, tahukah kau?

Bulan terharu dengan kesetiaanmu


Tenggelam, ku tenggelam

Dalam bahagia sisakan tawa

Bintang, kau haruslah senang

Bulan, matahari, dan semuanya menyayangimu


Kau pantas dapatkan itu

Karena kesetiaanmu menyejukkan

Kau selalu menemani bulan dan matahari

Meski kadang kau tak terlihat


Setiamu sangat indah

Walau kadang menyakitkan

Bila aku sesetia kau

Apakah ku bisa setegar kau untuk tak tenggelam?






Kepolosan di Atas Perang


Ibu, ada apa sih?

Kenapa semua orang berlari?

Mereka sedang bermain apa?

Aku ingin ikut!


Ibu, mereka seperti anak kecil ya?

Seperti aku! Hehe…

Mereka main kejar-kejaran

Membawa batu dan pistol-pistolan


Oh iya Bu, aku baru sadar!

Kita kan main kejar-kejaran juga

Tapi tadi aku terjatuh

Lalu ibu menggendongku


Lihat Bu!

Mereka capai bermain terus

Banyak yang tiduran di jalanan

Biar aku saja yang menggantikan mereka bermain!


Ibu, itu apa?

Baju mereka kok jadi merah?

Sampai tumpah ke jalan

Seru sekali, aku juga ingin!


Ibu, kok berhenti menggendongku?

Ooh… asyik! Bajuku jadi merah juga!

Tapi kenapa jadi gelap ya, Bu?

Permainan apa sih ini?


Ibu, kenapa menangis?

Hoam… aku mengantuk, Bu…

Aku ingin tidur di pangkuan Ibu

Selamat tidur, Bu!

Aku sayang Ibu!

My Short Story - Suci

Suci


Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Udara yang dingin akibat derasnya hujan yang mengguyur kota Jakarta, membuat orang-orang ingin segera mengakhiri segala aktivitasnya. Malam ini, hamper semua orang tertidur lelap dan bermimpi indah. Tapi, tidak dengan Suci, seorang gadis cantik berumur 18 tahun yang tinggal di kawasan perumahan elit.


Di ruang keluarga di rumahnya, Suci sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Ya, mereka hanya tinggal berdua di rumah mewah itu. Ayahnya sudah lama tiada, dan Suci merupakan anak tunggal. Awalnya, mereka masih mengobrol sambil bercanda. Namun, lama kelamaan suasana memanas ketika sang ibu mengungkapkan keinginannya untuk membawa Suci ke Rumah Sakit Jiwa besok.


“Maksud mama apa? Kenapa aku mau dibawa ke Rumah Sakit Jiwa? Memangnya siapa yang akan kita jenguk?”, tanya Suci keheranan.


“Ehm… kita tidak menjenguk siapa-siapa, sayang… Mama.. mama cuma mau memeriksa kesehatan psikologismu di sana.”, terang ibunya.


“Mama pikir aku ini gila? Lagipula kalau hanya itu, kita kan bisa memanggil psikiater ke sini.”


“Tapi ini rekomendasi dari kantor polisi, sayang…”


“Polisi?! Ngapain mama masih nurutin kata-kata polisi-polisi aneh itu! Seharusnya mereka yang perlu diperiksa psikologisnya! Mereka menangkap orang-orang yang tidak bersalah seperti aku!”


“Tapi menurut mama rekomendasi dari mereka bagus. Lagipula pemeriksaan ini kan ngga ada ruginya buat kamu.”


Emosi Suci pun memuncak.


“Kalau mama tetap memaksa aku, berarti mama menganggap aku gila!”


“Bukan begitu, sayang… Justru mama melakukan ini semua demi kamu.”


“Bohong! Pasti mama pikir aku gila! Aku ngga gila, ma! Aku ngga gila! Mama sudah ngga sayang aku lagi! Mama sama saja dengan papa!”


“Apa yang kamu katakan itu ngga benar! Mama sangat sayang sama kamu! Begitu pula almarhum papamu…”


“Bohong! Mama sama saja dengan papa! Ngga ada yang sayang sama aku! Kalau papa sayang sama aku, papa ngga mungkin tega melakukan hal itu! Ayah macam apa dia yang tega merenggut kehormatan anaknya sendiri! Aku malu! Aku sakit hati! Dan aku ngga pernah menyesal sudah membunuhnya!”


Suci tidak dapat membendung air matanya lagi. Ibunya memeluknya dan menenangkannya. Teringat kembali masa-masa kelam itu. Peristiwa kelabu yang tak akan pernah terhapus dari ingatan mereka. Peristiwa yang membuat Suci malu karena keadaannya yang sudah tak sama lagi dengan namanya.


Peristiwa itu terjadi ketika Suci masih berumur 16 tahun dan duduk di bangku SMA. Tepatnya 3 hari setelah hari ulang tahun Suci.


Malam itu, Suci sedang merapikan tempat tidurnya ketika tiba-tiba ayahnya masuk ke kamarnya tanpa permisi. Saat itu ibunya sudah tidur. Setelah mengobrol sebentar, Suci mulai mencium gelagat aneh ayahnya, dan Suci mulai histeris ketika ayahnya mencoba melakukan perbuatan yang tidak senonoh padanya. Tentu saja Suci berontak, namun usahanya sia-sia. Ayah kandungnya itu sudah membuat Suci tidak perawan lagi!


Lalu, selagi ada kesempatan, Suci berhasil meloloskan diri. Ia berlari sambil memanggil-ibunya. Ayahnya masih mengejarnya seperti tak kenal rasa puas.


Ibunya lari tergopoh-gopoh mencarinya, dan ketika sampai di ruang keluarga, Ia melihat suatu hal tragis.. Ia melihat suaminya tergolek tak berdaya di lantai. Kepalanya penuh darah dan ada serpihan beling di sekitarnya. Terdapat luka tusukan juga di dadanya. Ibunya tahu siapa yang melakukannya. Ia juga tahu dari mana serpihan beling itu berasal. Ia melihat Suci menangis. Tangan kanannya memegang guci yang sudah pecah.


Malam itu juga, Suci menyerahkan diri ke kantor polisi seraya melayangkan tuduhan dan pembelaannya. Ia juga menjalani sidang dua kali. Dalam sidangnya, tak tampak raut menyesal di wajahnya. Ia malah tertawa dan merasa puas telah membunuh ayahnya, dan tiba-tiba menangis ketika Ia ingat perlakuan kotor ayahnya itu.


Dua tahun lamanya Suci mendekam di penjara. Namun Ia masih belum menyesali perbuatannya. Ia berpikir bahwa mati adalah ganjaran terbaik untuk pria macam ayahnya. Saat ibunya menjenguknya, Ia hanya diam saja. Ia lebih suka duduk dengan posisi lutut menopang dagu, sambil menghisap ibu jarinya. Ia tak mau berkomunikasi dengan orang lain selain ibunya. Ia suka bersenandung kecil untuk menghibur diri. Namun terkadang Ia juga suka ngedumel sendiri, bicara sendiri, bahkan tertawa sendiri.


Kebiasaan buruk ini masih sering berlangsung saat Suci sudah dibebaskan. Hal inilah yang membuat ibunya cemas. Ibunya pun berkonsultasi dengan kepala kantor polisi tempat Suci dipenjara. Satu-satunya jalan terbaik adalah memeriksa kondisi kesehatan psikologis Suci ke Rumah Sakit Jiwa.


Setelah dirayu dengan pendekatan oleh ibunya yang sudah menenangkannya saat mereka berselisih, akhirnya Suci setuju dengan permintaan ibunya.


Esoknya, mereka pergi ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana, mereka dikenalkan dengan seorang dokter muda bernama dr.Finan. Lalu, Suci pun mulai menjalani pemeriksaan. Hasilnya sudah dapat keluar sore itu juga.

Saat yang dinanti-nanti pun tiba. dr.Finan memberikan hasil pemeriksaan psikologis Suci.


“Bagaimana dok? Saya ngga gila kan? Saya ngga perlu dirawat di sini kan?”, tanya Suci tidak sabar.

dr.Finan tertawa kecil dan menjawab pertanyaan Suci, “Iya, kamu benar. Tapi….”


“Tapi apa, dok?”


“Suci, kamu mengalami sedikit gangguan mental dan harus menjalani rehabilitasi di sini. Kamu tidak perlu menginap di sini, karena rehabilitasinya hanya dilaksanakan tiga kali seminggu. Harinya bisa kamu tentukan sendiri. Lamanya tergantung perkembangan psikologismu sendiri. Mungkin akan makan waktu berbulan-bulan.”


Meskipun Suci harus menjalani rehabilitasi selama berbulan-bulan, namun cukup mengetahui bahwa Suci tidak gila saja sudah membuat Suci dan ibunya lega. Mereka berterima kasih kepada pihak Rumah Sakit Jiwa, khususnya dr.Finan. Mereka juga diberitahu bahwa dokter rehabilitasi Suci adalah dr.Finan.


Ternyata perkembangan kesehatan psikologis Suci cukup baik. Dalam beberapa bulan, kebiasaan buruknya sudah hilang. Melalui pengajaran di rehabilitasi itu pun, Ia mulai menyesali perbuatannya terhadap ayahnya. Ia pun berterima kasih pada dr.Finan yang selalu menjadi teman curhatnya. Ia selalu berkeluh kesah pada dokter muda itu. Ia juga menceritakan pengalaman-pengalaman gembiranya, menceritakan impian dan cita-citanya, dan meminta pendapatnya jika ada masalah. Begitu pula dengan dr.Finan yang selalu memberikan nasihat, pengarahan, dan memotivasi Suci untuk sembuh dari gangguan mentalnya dan luka-luka hatinya.


Tak terasa sudah lebih dari 6 bulan Suci menjalani rehabilitasi. dr.Finan memberitahu Suci bahwa Ia sudah sembuh dan tidak usah kembali lagi. Tentu saja Suci senang mendengarnya, namun hati kecilnya mengatakan bahwa Ia masih ingin kembali. Raut wajahnya menyiratkan perasaan sedih.


“Apa-apaan raut wajahmu itu? Kamu ngga senang kalau kamu sudah sembuh?”, tanya dr.Finan sedikit bercanda.


“Dokter, kita sudah sering melewati hari-hari bersama selama setengah tahun lebih. Aku sudah merasa cukup dekat denganmu. Entah mengapa hatiku sedih ketika kau bilang aku tak perlu kembali ke sini. Aku ingin bisa selalu bertemu denganmu.”, kata Suci malu-malu.


“Yaa… aku paham perasaanmu. Semua pasienku juga bilang begitu padaku ketika akan berpisah. Hahaha….”, kata dr.Finan sambil tertawa.


Suci agak kesal dan berkata, “Dokter ini kenapa ngga peka sama sekali sih?!”


“Lho, kamu kenapa jadi marah? Peka apaan maksudnya?”


Belum sempat Suci menjawab, ibunya sudah datang menjemputnya. “Saatnya berpisah”, pikir Suci dalam hati. Ia dan ibunya bersalam-salaman dan mengucapkan salam perpisahan kepada seluruh pengurus, dokter, dan teman-teman serehabilitasinya di RSJ itu.


dr.Finan dan beberapa dokter lain mengantarkan mereka sampai ke gerbang. Sebelum masuk mobil pribadinya, Suci memberikan sepucuk surat kepada dr.Finan.


Setelah membaca surat itu, dr.Finan sedikit kaget. Ia membacanya sekali lagi.


Untuk dokterku yang aku hormati dan aku sayangi, dr.Finan.

Terima kasih sudah membimbingku selama ini, memberikan pengarahan, nasihat, dan selalu menjadi teman curhatku yang paling baik.

Wahai pencerah hatiku, berkat dirimu, sekarang aku sudah menyesali perbuatanku, dan aku sedang berusaha untuk memaafkan ayah.

Dokter, aku sedih harus berpisah denganmu. Aku ingin selalu berada di dekatmu. Aku merasa nyaman berada di sampingmu. Hatiku sejuk setiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulutmu. Hatiku berdegup kencang saat kau tersenyum padaku. Tahukah dokter apa arti semua ini?

Wahai perajut asaku, tahukah kau apa impianku? Ya, dulu aku pernah cerita kalau aku ingin menjadi pengusaha sukses, meneruskan perusahaan almarhum ayahku. Tapi ada satu impian lain yang tak berani kuceritakan padamu. Impian itu adalah…aku ingin nantinya menikah dengan seorang dokter yang selama ini sudah merawat dan membantuku. Tapi aku tahu itu tak mungkin.

Namun, aku berjanji padamu. Aku akan selalu berjuang. Aku tak akan takut menghadapi cobaan lagi, karena cobaan terberat sudah menimpaku. Aku akan berjuang untuk tegar.

Salam sayang,

Suci


dr.Finan tersenyum. Ia menundukkan kepala. Air mata mengalir hangat di pipinya. Lalu Ia berkata, “Suci, aku tak tahu mengapa aku menangis setelah membaca suratmu. Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Tapi aku senang telah dipertemukan denganmu. Kuharap kita dapat berjumpa lagi.”